Oleh: Annisa Fahmiati Nurzaman
“Andai
matahari di tangan kananku
Takkan mampu mengubah yakinku
Terpatri dan takkan terbeli dalam lubuk hati
Bilakah rembulan di tangan kiriku
Takkan sanggup mengganti imanku
Jiwa dan raga ini apapun adanya”
Takkan mampu mengubah yakinku
Terpatri dan takkan terbeli dalam lubuk hati
Bilakah rembulan di tangan kiriku
Takkan sanggup mengganti imanku
Jiwa dan raga ini apapun adanya”
Mesjid sederhana ini menjadi saksi. Lantunan parau para
gadis kecil yang -dengan cinta- mereka dendangkan.
Delapan tahun lalu. Saat pertama kali mengenal rohis. Rohis
pertama yang aku kenal sepanjang hidupku. Organisasi sekolah dengan segala
kedamaiannya. Ah, nikmatnya saat itu. Meski hanya hitungan jari, mereka tetap
terjaga dalam lingkarannya. Dalam upayanya menjaga satu sama lain. Bayanganku
kembali pada masa itu.
“Ayo latihan!” ucap Siti mengalihkan lamunanku.
“Oh iya, tunggu bentar,” jawabku. Sisa kepengurusan rohis ini hanya berkisar 8 orang. 6 orang akhwat dan 2 orang ikhwan. Namun entah mengapa, kami tak merasakan sosok mereka, para ikhwan. Mungkin kesibukan yang lain membuat keduanya enggan lagi membersamai kami dalam perjuangan ini. Alhasil aku ditunjuk untuk memimpin perahu kecil kami. Dengan terseok-seok, aku berusaha semampuku.
Hari ini, seperti hari lainnya, kami berkumpul di mesjid
sederhana ini setiap sepulang sekolah. Banyak kegiatan yang kami lakukan di
tempat istimewa itu, mentoring, belajar bersama, setor hapalan al-qur’an,
hingga berlatih nasyid. Kebanyakannya kami lakukan sendiri, tanpa mentor.
Karena jarangnya irisan waktu yang ada, antara kami dan mentor kami, membuat
kami mandiri lebih cepat. Mungkin itu yang membuat ikatan ini sangat istimewa.
Ukhuwah namanya.
Kali ini kami akan berlatih nasyid. Aku, Siti, Meli dan Aas.
Kami berempat mulai berlatih dengan tilawah, melantunkan ayat cinta yang luar
biasa. Setelahnya, kami bersiap pada posisi masing-masing. Aku dan Aas menjadi
vokalis murni, sedangkan Meli dan Siti menjadi vokalis dan pemegang alat musik.
“...Andaikan
seribu siksaan terus melambai-lambaikan derita yang mendalam
Seujung rambut pun aku takkan bimbang
jalan ini yang kutempuh
Bilakah ajal kan menjelang jemput rindu-rindu Syahid yang penuh kenikmatan
Cintaku hanya untukMu tetapkan muslimku selalu”
Seujung rambut pun aku takkan bimbang
jalan ini yang kutempuh
Bilakah ajal kan menjelang jemput rindu-rindu Syahid yang penuh kenikmatan
Cintaku hanya untukMu tetapkan muslimku selalu”
Mendalam.
Kami menghayatinya dengan sempurna. Hingga kulihat
ada titik air yang keluar diantara bolamata Siti. Ia kemudian menghapusnya
cepat.
“Ah, Hujan!” ucap Meli sambil menunjuk kearah jendela. Membuat konsentrasi kami buyar.
Benar saja, diluar sudah mulai gerimis. Kami segera
berhamburan keluar mesjid. Menyelamatkan sepatu dan barang-barang berharga yang
masih tersimpan diluar. Aku tersenyum memandang ketiga sahabatku itu, istimewa.
“Ayo latihan lagi,” ucapku. Kali ini kami melantunkan nasyid
itu lagi, diiringi suara gemercik hujan diluar sana. Syahdu.
“..Bilakah
ajal kan menjelang jemput rindu-rindu Syahid yang penuh kenikmatan
Cintaku hanya untukMu tetapkan muslimku selalu...”
Cintaku hanya untukMu tetapkan muslimku selalu...”
Beberapa tahun kemudian. Lembar cerita telah terganti.
Kehidupan Sekolah Menengah kami telah sendiri-sendiri. Tak ada yang Allah
satukan. Hingga kabar itu sampai padaku.
“Assalammu’alaikum wr. Wb.
“Assalammu’alaikum wr. Wb.
Innalillahi wa Inna ilaihi roji’un...Sahabat semua, mohon
doanya untuk Siti Aslamiyah, beliau telah berpulang sore hari kemarin karena
penyakit kanker pencernaan...bagi yang mau melayat, besok kita kumpul di
sekolah ba’da dzuhur, konfirmasi...”
SMS dari kakak kelasku itu membuatku tercekat. Hilang
kesadaran untuk beberapa detik. Allah,
benarkah??
Kuyakinkan diriku. Aku bertanya pada tiap orang yangmengenal
beliau, dan jawabannya sama. Ya, Ia yang Allah panggil kemarin sore.
Allah,
kenapa? Air mataku mengucur deras. Tak peduli
sedang di dalam angkutan kota kala itu. Air mataku tak henti mengalir. Ada
bagian hati yang sakit. Entah mengapa. Rasa kehilangan itu sungguh menyakitkan.
Allah, kenapa?
Aku menangis sejadinya, saat ia dikafankan dihadapanku. Meli
dan Siti memelukku erat. Menyuruhku beristighfar. “Astaghfirullah...” ucapku,
lirih. Dengan air mata yang tak bisa kubendung. Air mata kehilangan, sangat
dalam.
“Ikhlas, cha...lihat, Siti senyum...” ucap Meli
menenangkanku. Menunjuk lesung di pipi wanita shaliha itu.
Ia yang dengan sabar mengajakku untuk tetap dalam lingkaran.
Ia yang dengan lembut menegurku saat khilaf. Ia yang dengan tegas mengajakku
untuk berbenah. Ia yang meneguhkanku untuk senantiasa menjaga auratku secara
benar.
Ia yang membuatku malu dengan semua keluhanku. Ia yang mengatakan “Aku
orang pertama yang akan membuatmu bangkit saat kamu terpuruk!” ketika aku
menyerah memimpin perahu kami. Ah, ia sungguh istimewa. Ia wanita shaliha.
Pantas saja Allah memanggilmu cepat, karena Allah lebih mencintaimu, Siti
Aslamiyah...
Hingga kini, memori indah saat berlatih nasyid itu selalu
hadir. Ketika aku kembali pada tempat pertamaku mengenal rohis. SMPN 4
Cimahi.Meski keadaannya kini telah berbeda, namun kenangannya tak akan pernah
berubah.
Allah, betapa indah jalan
yang kutapaki ini. Lewat kumpulan orang-orang istimewa dalam lingkaran ini
(rohis) kutemukan banyak cinta dan hikmah di setiap lembaran perjalanannya,
hingga aku mencintai jalan ini...jalan yang membuatku mengenalMu lebih,
mencintaiMu lebih...
Allah, pertemukan aku kembali
dengan ia yang Kau cintai, dalam keridhoanMu...
Allah, pertemukan aku kembali dengan ia yang Kau cintai,
dalam keridhoanMu...
Biodata penulis
Nama lengkap :
Annisa Fahmiati Nurzaman
Instansi : Jurusan Pend. Matematika/FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia/ LDK UKDM UPI
dari Sayembara 100 Tulisan gara-gara Rohis kerjasama Rumah Rohis duaet bareng KPP smart syuhada dan flipper magazine
Tidak ada komentar:
Posting Komentar