Dalam hadits di atas Rasulullah saw mengisyaratkan bahwa akan ada suatu zaman yang penuh dengan fitnah, dimana ‘amar ma’ruf nahi mungkar tidak lagi berarti. Keadaan dimana manusia tidak lagi mempan terhadap seruan peringatan, nasihat dan pelurusan, mereka telah menjadikan hawa nafsu sebagai Tuhan-nya yang baru, dunia begitu diutamakan dan menyedot seluruh perhatian mereka, hasilnya pun mereka nikmati dunia ini dengan sepuas-puasnya tanpa ada yang mereka simpan dan sisakan untuk agama dan akhirat. Manusia hidup tanpa landasan agama sehingga tak ubahnya seperti binatang ternak. Sehingga kemudian orang-orang yang hidup pada zaman yang penuh dengan fitnah ini kondisinya diibaratkan seperti orang yang berada dalam kegelapan malam yang tidak mendapatkan cahaya kecuali bongkahan bara api yang ada di hadapannya. Mereka dihadapkan dengan dua pilihan, apakah harus mengambil bongkahan api tersebut sehingga bisa terus berjalan walaupun tangan penuh luka ataukah meninggalkan bongkahan api itu tapi tetap pada kegelapan?
Maka kita lihat, bagaimana kondisi umat Nabi Muhammad saw saat ini dalam memegang ajaran beliau? Apakah mereka mengambil resiko yang pertama yaitu tetap memegang teguh ajaran beliau itu dengan kesabaran prima? Ataukah mereka mengambil resiko yang kedua, yaitu menanggalkan ajaran beliau itu, tak kuat memegangnya karena dirinya terus menerus mendapatkan hinaan, ejekan dan siksaan bahkan ancaman pembunuhan?
Ternyata mayoritas mengambil resiko yang kedua yang justru sebenarnya lebih berat untuk mereka hadapi ketimbang resiko yang pertama. Karena jika mereka mengambil resiko yang kedua berarti mereka telah siap untuk masuk ke jurang kesesatan dan kebinasaan, baik di dunia sebelum di akherat. Di dunia dia termasuk orang yang sesat dan hina di hadapan Allah, adapun di akherat Allah swt akan memasukkannya ke jurang neraka. Nau’dzubillah.
Dan kita dapati hanya sedikit sekali dari umat Nabi Muhammad saw yang bersikukuh untuk tetap memegang ajaran Nabi yang murni. Dalam hadits, Rasulullah saw mengibaratkan bahwa kondisi mereka itu seperti kondisi seseorang yang menggenggam bara api. Walaupun mereka harus merelakan tangannya terbakar, tapi mereka mampu berjalan di atas cahaya kebenaran. Mereka tidak peduli dengan banyaknya hinaan dan celaan dari masyarakat sekelilingnya, bahkan siksaan dan pembunuhan dari orang-orang yang berusaha memadamkan bara api itu. Karena mereka yakin dengan sabda Rasulullah saw: “Akan senantiasa ada sekelompok dari ummatku yang dimenangkan di atas kebenaran, tidak akan membahayakannya orang yang memusuhinya hingga datangnya hari Kiamat, sedangkan mereka tetap dalam kondisi seperti itu.” (HSR. Muslim)
Mendapatkan Pahala 50 Shahabat
Para ulama menjelaskan mengapa orang-orang yang hidup dan beramal pada zaman yang penuh dengan fitnah itu mendapatkan pahala hingga 50 kali pahala para shahabat? karena sulitnya untuk beramal dan bersabar terhadap ujian di dalam mengamalkan dien ketika itu, sebagaimana sabda Nabi saw: “Kamu sekalian (wahai para shahabat-ku) mendapatkan penolong-penolong untuk berbuat kebaikan, (sedang mereka) tidak mendapatkan penolong dalam melaksanakan kebaikan.”
Para shahabat beramal ketika Rasulullah saw ada di tengah-tengah mereka, ayat turun memberi penilaian, sanjungan dan teguran kepada mereka, suasana untuk berbuat kebaikan marak di setiap sudut, sedang generasi belakangan yang mendapatkan 50 kali pahala mereka beramal di saat Nabi hanya didapatkan dalam sirah dan sunnah. Al-Qur’an sudah tidak turun lagi, itu pun penafsiran manusia terhadapnya bermacam-macam, dan suasana tidak mendukung untuk berbuat kebaikan, bahkan kemaksiatan merata menggerogoti ketahanan iman dan akhlaq mereka.
Mengomentari pahala 50 shahabat ini, dalam kitab Fathul Wadud dikatakan bahwa yang dimaksud seperti pahala 50 shahabat adalah untuk amal-amal yang berat untuk menunaikannya ketika itu dan tidak secara mutlaq karena dalam suatu hadits disebutkan “Sekiranya kalian berinfaq emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan sampai (pahalanya) seseorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.” Karena para shahabat mempunyai keutamaan dari yang lainnya secara mutlaq. Wallahu a’lam bishshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar